.net - Sebuah pesan dari dai Salafi ditulis: “Sekira para kiai Aswaja NU mau menanggalkan hawa nafsu dan sikap fanatisme yang membabi buta terhadap tradisi leluhur mereka, niscaya mereka bakal mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada para dai dari Salafi yang telah meluruskan makna Ahlu Sunnah wal Jamaah yang selama ini mereka pahami secara keliru”
Jawaban:
Justru Dai dari Salafi yang gres mengetahui ijtihad Islam dan belum mengerti seluk-beluk metode ijtihad para ulama semenjak dahulu. Apa yang telah kami amalkan memiliki landasan ijtihad sebagai berikut:
1. Qiyas Dalam Ibadah
- Sumber Hukum Qiyas
Ulama andal Tafsir, Syaikh Fakhruddin ar-Razi, menjelaskan firman Yang Mahakuasa dalam QS an-Nisa’: 59, sebagai 4 sumber hukum dalam Islam:
قَوْلُهُ : { أَطِيْعُواْ اللهَ وَأَطِيْعُواْ الرَّسُوْلَ } يَدُلُّ عَلَى وُجُوْبِ مُتَابَعَةِ الْكِتَابِ وَالسُّنَّةِ . قَوْلُهُ : { وَأُوْلِى الْأمْرِ مِنْكُمْ } يَدُلُّ عِنْدَنَا عَلَى أَنَّ إِجْمَاعَ الْأُمَّةِ حُجَّةٌ ... قَوْلُهُ : { فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِى شَىْءٍ فَرُدُّوْهُ إِلَى اللهِ وَالرَّسُوْلِ } يَدُلُّ عِنْدَنَا عَلَى أَنَّ الْقِيَاسَ حُجَّةٌ
“Firman Yang Mahakuasa (ta`atilah Yang Mahakuasa dan ta`atilah Rasul) memperlihatkan kewajiban mengikuti al-Quran dan Hadis. Firman Yang Mahakuasa (dan ulil amri) memperlihatkan bagi kita bahwa Ijma’ umat Islam ialah sebuah hujjah. Dan firman Yang Mahakuasa (jika kau berlainan pendapat perihal sesuatu...) menunjuk-kan bagi kita bahwa Qiyas ialah sebuah hujjah” (Tafsir al-Kabir Mafatih al-Ghaib, 5/248-251)
- Khilafiyah Qiyas Dalam Ibadah
Metode Qiyas semacam ini memang menjadi khilafiyah diantara lintas ulama Madzhab, sebagaimana dikatakan oleh Syaikh Ali bin Muhammad al-Ba’li:
مَسْأَلَةٌ يَجْرِى الْقِيَاسُ فِى الْعِبَادَاتِ وَالْأَسْبَابِ وَالْكَفَّارَاتِ وَالْحُدُوْدِ وَالْمُقَدَّرَاتِ عِنْدَ أَصْحَابِنَا وَالشَّافِعِيَّةِ خِلَافًا لِلْحَنَفِيَّةِ
“Qiyas berlaku dalam persoalan ibadah, sebab-sebab syariat, kaffarat (denda/sanksi), hukum pidana dan ukuran, menurut ulama kami (madzhab Hanbali) dan madzhab Syafiiyah, berbeda dengan madzhab Hanafiyah” (Mukhtashar Ushul al-Fiqh ala Madzhab Imam Ahmad bin Hanbal, 1/151)
Contoh dari hasil ijtihad ini ialah membaca niat dalam salat, salaman setelah salat, adzan di kubur
2. Mengamalkan Hadis Dlaif
Ulama Salafi menvonis mengamalkan hadis dlaif ialah bidah, padahal tidak demikian. Sudah semenjak masa ulama Salaf hadis dlaif diamalkan, bahkan hal ini diakui oleh Ibnu Taimiyah yang diberi gelar Syaikhul Islam oleh Salafi:
فَصْلٌ قَوْلُ أَحْمَد بْنِ حَنْبَلٍ : إذَا جَاءَ الْحَلَالُ وَالْحَرَامُ شَدَّدْنَا فِي الْأَسَانِيدِ ؛ وَإِذَا جَاءَ التَّرْغِيبُ وَالتَّرْهِيبُ تَسَاهَلْنَا فِي الْأَسَانِيدِ ؛ وَكَذَلِكَ مَا عَلَيْهِ الْعُلَمَاءُ مِنْ الْعَمَلِ بِالْحَدِيثِ الضَّعِيفِ فِي فَضَائِلِ الْأَعْمَالِ : لَيْسَ مَعْنَاهُ إثْبَاتُ الِاسْتِحْبَابِ بِالْحَدِيثِ الَّذِي لَا يُحْتَجُّ بِهِ ؛ فَإِنَّ الِاسْتِحْبَابَ حُكْمٌ شَرْعِيٌّ فَلَا يَثْبُتُ إلَّا بِدَلِيلِ شَرْعِيٍّ
(Fasal) Perkataan Ahmad bin Hanbal: “Jika ada hadis yang menjelaskan halal dan haram, maka kami sangat ketat dalam menilai sanadnya. Jika ada hadis dalam persoalan dorongan beribadah atau motifasi meninggalkan larangan, maka kami memberi kelonggaran dalam sanadnya”, demikian halnya para ulama yang mengamalkan hadis dlaif dalam hal keutamaan beramal; maksudnya ialah bukan unyuk menetapkan hukum sunah dengan hadis yang tidak dapat dijadikan hujjah. Sebab, sunah ialah hukum syar’i maka tidak dapat dijadikan ketetapan hukum kecuali dengan dalil Syar’i.
وَإِنَّمَا مُرَادُهُمْ بِذَلِكَ : أَنْ يَكُونَ الْعَمَلُ مِمَّا قَدْ ثَبَتَ أَنَّهُ مِمَّا يُحِبُّهُ اللَّهُ أَوْ مِمَّا يَكْرَهُهُ اللَّهُ بِنَصِّ أَوْ إجْمَاعٍ كَتِلَاوَةِ الْقُرْآنِ ؛ وَالتَّسْبِيحِ وَالدُّعَاءِ ؛ وَالصَّدَقَةِ وَالْعِتْقِ ؛ وَالْإِحْسَانِ إلَى النَّاسِ ؛ وَكَرَاهَةِ الْكَذِبِ وَالْخِيَانَةِ ؛ وَنَحْوِ ذَلِكَ ... وَمِثَالُ ذَلِكَ التَّرْغِيبُ وَالتَّرْهِيبُ بِالْإِسْرَائِيْلِيَّاتِ وَالْمَنَامَاتِ وَكَلِمَاتِ السَّلَفِ وَالْعُلَمَاءِ وَوَقَائِعِ الْعُلَمَاءِ وَنَحْوِ ذَلِكَ مِمَّا لَا يَجُوزُ بِمُجَرَّدِهِ إثْبَاتُ حُكْمٍ شَرْعِيٍّ ؛ لَا اسْتِحْبَابٍ وَلَا غَيْرِهِ وَلَكِنْ يَجُوزُ أَنْ يُذْكَرَ فِي التَّرْغِيبِ وَالتَّرْهِيبِ ؛ وَالتَّرْجِيَةِ وَالتَّخْوِيفِ . فَمَا عُلِمَ حُسْنُهُ أَوْ قُبْحُهُ بِأَدِلَّةِ الشَّرْعِ فَإِنَّ ذَلِكَ يَنْفَعُ وَلَا يَضُرُّ
Maksud mereka (Imam Ahmad dan lainnya) ialah melakukan hal-hal yang disenagi oleh Yang Mahakuasa atau yang tidak disenangi berdasarkan dalil nash atau ijma’ ulama, menyerupai membaca al-Quran, tasbih, doa, sedekah, memerdekakan budak, berbuat baik kepada manusia, menjauhi dusta, khianat dan sebagainya.... Demikian halnya dorongan ibadah dan menjauhi larangan dengan dasar kisah-kisah Israiliyat, mimpi-mimpi, perkataan ulama Salaf, kejadian yang dialami para ulama dan hal yang tidak boleh dijadikan hukum Syar’i hanya karena hal diatas. Bukan menjadi hukum sunah atau lainnya. Namun boleh disebutkan dalam hal mendorong ibadah, menjauhi dosa, memberi impian atau menakut-nakuti. Maka, sesuatu yang diketahui bagusnya atau buruknya berdasarkan dalil Syar’i maka hal itu boleh dan tidak berbahaya (Syaikh Ibnu Taimiyah, Majmu’ al-Fatawa 4/50)
Contoh amaliah yang merujuk kepada hadis dlaif ialah Talqin di makam. Sedangkan pola mengamalkan dari para ulama ialah melepas tali pocong dari sebagian Tabiin. Contoh mengamalkan mimpi ialah doa fida’ baik tahlil 70.000 kali maupun al-Ikhlas 100.000 kali. Jika Ibnu Taimiyah boleh mengamalkan, mengapa pengikutnya menolak?
3. Mengamalkan Tradisi
Masalah inilah yang paling banyak dituduh sebagai mengamalkan pedoman nenek moyang, yaitu tradisi. Padahal tidak semua tradisi harus dijauhi, bahkan tradisi yang dinilai baik oleh umat Islam boleh diamalkan, sebagaimana riwayat berikut:
عَنْ عَبْدِ اللهِ قَالَ : مَا رَأَى الْمُسْلِمُوْنَ حَسَنًا فَهُوَ عِنْدَ اللهِ حَسَنٌ وَمَا رَآهُ الْمُسْلِمُوْنَ سَيّئًا فَهُوَ عِنْدَ اللهِ سَيِّىءٌ وَقَدْ رَأَى الصَّحَابَةُ جَمِيْعًا أَنْ يَسْتَخْلِفُوْا أَبَا بَكْرٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ (رواه احمد والحاكم والطبراني والبزار . قال الذهبي قي التلخيص : صحيح وقال الهيثمي رجاله ثقات)
“Diriwayatkan dari Abdullah bin Mas’ud, ia berkata: “Apa yang dilihat baik oleh umat Islam, maka baik pula bagi Allah. Dan apa yang dilihat buruk oleh umat Islam, maka buruk pula bagi Allah. Para sobat kesemuanya telah berpandangan untuk mengangkat khalifah Abu Bakar” (Riwayat Ahmad, al-Hakim, al-Thabrani dan al-Bazzar. Al-Dzahabi berkata: Sahih. Al-Haitsami berkata: Para perawinya terpercata)
Mufti al-Azhar, Syaikh Athiyah Shaqr, berfatwa:
وَهَذَا الْأَثَرُ اسْتَدَلَّ بِهِ جُمْهُوْرُ الْعُلَمَاءِ عَلَى أَنَّ الْعُرْفَ حُجَّةٌ فىِ التَّشْرِيْعِ وَلَكِنْ بِشَرْطِ عَدَمِ تَعَارُضِهِ مَعَ النُّصُوْصِ الصَّرِيْحَةِ وَالْأُصُوْلِ الْمُقَرَّرَةِ .... قَالَ الْعُلَمَاءُ : إِنَّ الْعُرْفَ لَا يُؤْخَذُ بِهِ إِلَّا بِشُرُوْطٍ مِنْهَا أَنْ يَكُوْنَ مُطَّرِدًا أَوْ غَالِبًا أَىْ شَائِعًا بَيْنَ الْكَثِيْرِيْنَ مَعَ مُرَاعَاةِ أَنَّ لِكُلِّ جَمَاعَةٍ عُرْفَهَا وَمِنْهَا أَلَّا يَكُوْنَ مُخَالِفًا لِنَصٍّ شَرْعِىٍّ كَشُرْبِ الْخَمْرِ وَلَعْبِ الْمَيْسِرِ وَالتَّعَامُلِ بِالرِّبَا ... (فتاوى الأزهر - ج 10 / ص 336)
Atsar (Ibnu Mas’ud) ini dijadikan dalil oleh secara umum dikuasai ulama bahwa ‘urf atau kebiasaan ialah sebuah dalil dalam agaman, namun dengan syarat tidak bertentangan dengan pedoman agama dan kaidah ushul yang telah ditetapkan... ulama berkata: Urf atau kebiasaan tidak digunakan kecuali dengan beberapa syarat, diantaranya harus berlaku secara umum oleh kebanyakan orang, serta melestarikan kebiasaan masing-masing. Diantaranya juga tidak bertentangan dengan dalil agama, menyerupai minum khamr, permainan judi dan transaksi riba...” (Fatawa al-Azhar 10/336)
Kriteria tradisi dengan syarat diatas juga dibenarkan dalam pandangan ulama 4 madzhab, menyerupai oleh Syaikh Zadah al-Hanafi dalam Majma’ al-Anhar 5/361, Syaikh ad-Dasuqi al-Maliki dalam Hasyiah ‘ala asy-Syarh al-Kabir 15/372, al-Hafidz as-Suyuthi asy-Syafi’i, Asybah wa an-Nadzair, 1/164, dan Syaikh asy-Syinqithi dalam Syarah Zad al-Mustaqni’ 6/166.
Dishare dari Kiai Ma’ruf Khozin, Anggota di Aswaja NU Center Jatim dan LBM PWNU Jatim
Jawaban:
Justru Dai dari Salafi yang gres mengetahui ijtihad Islam dan belum mengerti seluk-beluk metode ijtihad para ulama semenjak dahulu. Apa yang telah kami amalkan memiliki landasan ijtihad sebagai berikut:
1. Qiyas Dalam Ibadah
- Sumber Hukum Qiyas
Ulama andal Tafsir, Syaikh Fakhruddin ar-Razi, menjelaskan firman Yang Mahakuasa dalam QS an-Nisa’: 59, sebagai 4 sumber hukum dalam Islam:
قَوْلُهُ : { أَطِيْعُواْ اللهَ وَأَطِيْعُواْ الرَّسُوْلَ } يَدُلُّ عَلَى وُجُوْبِ مُتَابَعَةِ الْكِتَابِ وَالسُّنَّةِ . قَوْلُهُ : { وَأُوْلِى الْأمْرِ مِنْكُمْ } يَدُلُّ عِنْدَنَا عَلَى أَنَّ إِجْمَاعَ الْأُمَّةِ حُجَّةٌ ... قَوْلُهُ : { فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِى شَىْءٍ فَرُدُّوْهُ إِلَى اللهِ وَالرَّسُوْلِ } يَدُلُّ عِنْدَنَا عَلَى أَنَّ الْقِيَاسَ حُجَّةٌ
“Firman Yang Mahakuasa (ta`atilah Yang Mahakuasa dan ta`atilah Rasul) memperlihatkan kewajiban mengikuti al-Quran dan Hadis. Firman Yang Mahakuasa (dan ulil amri) memperlihatkan bagi kita bahwa Ijma’ umat Islam ialah sebuah hujjah. Dan firman Yang Mahakuasa (jika kau berlainan pendapat perihal sesuatu...) menunjuk-kan bagi kita bahwa Qiyas ialah sebuah hujjah” (Tafsir al-Kabir Mafatih al-Ghaib, 5/248-251)
- Khilafiyah Qiyas Dalam Ibadah
Metode Qiyas semacam ini memang menjadi khilafiyah diantara lintas ulama Madzhab, sebagaimana dikatakan oleh Syaikh Ali bin Muhammad al-Ba’li:
مَسْأَلَةٌ يَجْرِى الْقِيَاسُ فِى الْعِبَادَاتِ وَالْأَسْبَابِ وَالْكَفَّارَاتِ وَالْحُدُوْدِ وَالْمُقَدَّرَاتِ عِنْدَ أَصْحَابِنَا وَالشَّافِعِيَّةِ خِلَافًا لِلْحَنَفِيَّةِ
“Qiyas berlaku dalam persoalan ibadah, sebab-sebab syariat, kaffarat (denda/sanksi), hukum pidana dan ukuran, menurut ulama kami (madzhab Hanbali) dan madzhab Syafiiyah, berbeda dengan madzhab Hanafiyah” (Mukhtashar Ushul al-Fiqh ala Madzhab Imam Ahmad bin Hanbal, 1/151)
Contoh dari hasil ijtihad ini ialah membaca niat dalam salat, salaman setelah salat, adzan di kubur
2. Mengamalkan Hadis Dlaif
Ulama Salafi menvonis mengamalkan hadis dlaif ialah bidah, padahal tidak demikian. Sudah semenjak masa ulama Salaf hadis dlaif diamalkan, bahkan hal ini diakui oleh Ibnu Taimiyah yang diberi gelar Syaikhul Islam oleh Salafi:
فَصْلٌ قَوْلُ أَحْمَد بْنِ حَنْبَلٍ : إذَا جَاءَ الْحَلَالُ وَالْحَرَامُ شَدَّدْنَا فِي الْأَسَانِيدِ ؛ وَإِذَا جَاءَ التَّرْغِيبُ وَالتَّرْهِيبُ تَسَاهَلْنَا فِي الْأَسَانِيدِ ؛ وَكَذَلِكَ مَا عَلَيْهِ الْعُلَمَاءُ مِنْ الْعَمَلِ بِالْحَدِيثِ الضَّعِيفِ فِي فَضَائِلِ الْأَعْمَالِ : لَيْسَ مَعْنَاهُ إثْبَاتُ الِاسْتِحْبَابِ بِالْحَدِيثِ الَّذِي لَا يُحْتَجُّ بِهِ ؛ فَإِنَّ الِاسْتِحْبَابَ حُكْمٌ شَرْعِيٌّ فَلَا يَثْبُتُ إلَّا بِدَلِيلِ شَرْعِيٍّ
(Fasal) Perkataan Ahmad bin Hanbal: “Jika ada hadis yang menjelaskan halal dan haram, maka kami sangat ketat dalam menilai sanadnya. Jika ada hadis dalam persoalan dorongan beribadah atau motifasi meninggalkan larangan, maka kami memberi kelonggaran dalam sanadnya”, demikian halnya para ulama yang mengamalkan hadis dlaif dalam hal keutamaan beramal; maksudnya ialah bukan unyuk menetapkan hukum sunah dengan hadis yang tidak dapat dijadikan hujjah. Sebab, sunah ialah hukum syar’i maka tidak dapat dijadikan ketetapan hukum kecuali dengan dalil Syar’i.
وَإِنَّمَا مُرَادُهُمْ بِذَلِكَ : أَنْ يَكُونَ الْعَمَلُ مِمَّا قَدْ ثَبَتَ أَنَّهُ مِمَّا يُحِبُّهُ اللَّهُ أَوْ مِمَّا يَكْرَهُهُ اللَّهُ بِنَصِّ أَوْ إجْمَاعٍ كَتِلَاوَةِ الْقُرْآنِ ؛ وَالتَّسْبِيحِ وَالدُّعَاءِ ؛ وَالصَّدَقَةِ وَالْعِتْقِ ؛ وَالْإِحْسَانِ إلَى النَّاسِ ؛ وَكَرَاهَةِ الْكَذِبِ وَالْخِيَانَةِ ؛ وَنَحْوِ ذَلِكَ ... وَمِثَالُ ذَلِكَ التَّرْغِيبُ وَالتَّرْهِيبُ بِالْإِسْرَائِيْلِيَّاتِ وَالْمَنَامَاتِ وَكَلِمَاتِ السَّلَفِ وَالْعُلَمَاءِ وَوَقَائِعِ الْعُلَمَاءِ وَنَحْوِ ذَلِكَ مِمَّا لَا يَجُوزُ بِمُجَرَّدِهِ إثْبَاتُ حُكْمٍ شَرْعِيٍّ ؛ لَا اسْتِحْبَابٍ وَلَا غَيْرِهِ وَلَكِنْ يَجُوزُ أَنْ يُذْكَرَ فِي التَّرْغِيبِ وَالتَّرْهِيبِ ؛ وَالتَّرْجِيَةِ وَالتَّخْوِيفِ . فَمَا عُلِمَ حُسْنُهُ أَوْ قُبْحُهُ بِأَدِلَّةِ الشَّرْعِ فَإِنَّ ذَلِكَ يَنْفَعُ وَلَا يَضُرُّ
Maksud mereka (Imam Ahmad dan lainnya) ialah melakukan hal-hal yang disenagi oleh Yang Mahakuasa atau yang tidak disenangi berdasarkan dalil nash atau ijma’ ulama, menyerupai membaca al-Quran, tasbih, doa, sedekah, memerdekakan budak, berbuat baik kepada manusia, menjauhi dusta, khianat dan sebagainya.... Demikian halnya dorongan ibadah dan menjauhi larangan dengan dasar kisah-kisah Israiliyat, mimpi-mimpi, perkataan ulama Salaf, kejadian yang dialami para ulama dan hal yang tidak boleh dijadikan hukum Syar’i hanya karena hal diatas. Bukan menjadi hukum sunah atau lainnya. Namun boleh disebutkan dalam hal mendorong ibadah, menjauhi dosa, memberi impian atau menakut-nakuti. Maka, sesuatu yang diketahui bagusnya atau buruknya berdasarkan dalil Syar’i maka hal itu boleh dan tidak berbahaya (Syaikh Ibnu Taimiyah, Majmu’ al-Fatawa 4/50)
Contoh amaliah yang merujuk kepada hadis dlaif ialah Talqin di makam. Sedangkan pola mengamalkan dari para ulama ialah melepas tali pocong dari sebagian Tabiin. Contoh mengamalkan mimpi ialah doa fida’ baik tahlil 70.000 kali maupun al-Ikhlas 100.000 kali. Jika Ibnu Taimiyah boleh mengamalkan, mengapa pengikutnya menolak?
3. Mengamalkan Tradisi
Masalah inilah yang paling banyak dituduh sebagai mengamalkan pedoman nenek moyang, yaitu tradisi. Padahal tidak semua tradisi harus dijauhi, bahkan tradisi yang dinilai baik oleh umat Islam boleh diamalkan, sebagaimana riwayat berikut:
عَنْ عَبْدِ اللهِ قَالَ : مَا رَأَى الْمُسْلِمُوْنَ حَسَنًا فَهُوَ عِنْدَ اللهِ حَسَنٌ وَمَا رَآهُ الْمُسْلِمُوْنَ سَيّئًا فَهُوَ عِنْدَ اللهِ سَيِّىءٌ وَقَدْ رَأَى الصَّحَابَةُ جَمِيْعًا أَنْ يَسْتَخْلِفُوْا أَبَا بَكْرٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ (رواه احمد والحاكم والطبراني والبزار . قال الذهبي قي التلخيص : صحيح وقال الهيثمي رجاله ثقات)
“Diriwayatkan dari Abdullah bin Mas’ud, ia berkata: “Apa yang dilihat baik oleh umat Islam, maka baik pula bagi Allah. Dan apa yang dilihat buruk oleh umat Islam, maka buruk pula bagi Allah. Para sobat kesemuanya telah berpandangan untuk mengangkat khalifah Abu Bakar” (Riwayat Ahmad, al-Hakim, al-Thabrani dan al-Bazzar. Al-Dzahabi berkata: Sahih. Al-Haitsami berkata: Para perawinya terpercata)
Mufti al-Azhar, Syaikh Athiyah Shaqr, berfatwa:
وَهَذَا الْأَثَرُ اسْتَدَلَّ بِهِ جُمْهُوْرُ الْعُلَمَاءِ عَلَى أَنَّ الْعُرْفَ حُجَّةٌ فىِ التَّشْرِيْعِ وَلَكِنْ بِشَرْطِ عَدَمِ تَعَارُضِهِ مَعَ النُّصُوْصِ الصَّرِيْحَةِ وَالْأُصُوْلِ الْمُقَرَّرَةِ .... قَالَ الْعُلَمَاءُ : إِنَّ الْعُرْفَ لَا يُؤْخَذُ بِهِ إِلَّا بِشُرُوْطٍ مِنْهَا أَنْ يَكُوْنَ مُطَّرِدًا أَوْ غَالِبًا أَىْ شَائِعًا بَيْنَ الْكَثِيْرِيْنَ مَعَ مُرَاعَاةِ أَنَّ لِكُلِّ جَمَاعَةٍ عُرْفَهَا وَمِنْهَا أَلَّا يَكُوْنَ مُخَالِفًا لِنَصٍّ شَرْعِىٍّ كَشُرْبِ الْخَمْرِ وَلَعْبِ الْمَيْسِرِ وَالتَّعَامُلِ بِالرِّبَا ... (فتاوى الأزهر - ج 10 / ص 336)
Atsar (Ibnu Mas’ud) ini dijadikan dalil oleh secara umum dikuasai ulama bahwa ‘urf atau kebiasaan ialah sebuah dalil dalam agaman, namun dengan syarat tidak bertentangan dengan pedoman agama dan kaidah ushul yang telah ditetapkan... ulama berkata: Urf atau kebiasaan tidak digunakan kecuali dengan beberapa syarat, diantaranya harus berlaku secara umum oleh kebanyakan orang, serta melestarikan kebiasaan masing-masing. Diantaranya juga tidak bertentangan dengan dalil agama, menyerupai minum khamr, permainan judi dan transaksi riba...” (Fatawa al-Azhar 10/336)
Kriteria tradisi dengan syarat diatas juga dibenarkan dalam pandangan ulama 4 madzhab, menyerupai oleh Syaikh Zadah al-Hanafi dalam Majma’ al-Anhar 5/361, Syaikh ad-Dasuqi al-Maliki dalam Hasyiah ‘ala asy-Syarh al-Kabir 15/372, al-Hafidz as-Suyuthi asy-Syafi’i, Asybah wa an-Nadzair, 1/164, dan Syaikh asy-Syinqithi dalam Syarah Zad al-Mustaqni’ 6/166.
Dishare dari Kiai Ma’ruf Khozin, Anggota di Aswaja NU Center Jatim dan LBM PWNU Jatim
0 komentar:
Posting Komentar