.net - Habib Anis Sholeh Baasyin menyebutkan bahwa dikala ini bangsa Indonesia membutuhkan selera humor yang lebih besar. Karena tidak jarang selera humor bisa menghindarkan perselisihan.
“Sekarang ini orang sudah kehilangan selera humor. Makanya sering terjadi perselisihan,” ujar Habib Anis dikala membuka diskusi Suluk Maleman Sabtu (21/10) kemarin.
Padahal menurut aktivis Sampak GusUran tersebut orang yang suka humor ialah orang bijak yang bisa melihat dari luar realitas. Dengan begitu maka orang yang penuh humor selalu menyadari bila tidak ada orang yang sempurna.
“Hal itu yang kemudian membuatnya tidak mudah marah apalagi hingga terjadi perselisihan. Karena sadar sama lemahnya sehingga perlu saling menguatkan,” ujarnya.
Dalam suluk bertemakan Retak Cermin Dibelah Bangsa itu, Anis juga mengingatkan untuk tidak berbicara menang dan kalah dalam konteks dunia. Karena setiap mencari kemenangan dunia sudah dipastikan orang itu justru akan mengalami kekalahan. Namun bila yang dicari kemenangan alam abadi dipastikan akan menerima dunia dan akhirat.
“Pernah di suatu peperangan Imam Ali berhasil mengalahkan musuhnya. Namun dikala hampir dieksekusi, Imam Ali diludahi oleh lawannya. Rupanya hal itu justru tidak membuat Imam Ali gelap mata dan membunuh musuh di peperangannya itu,” terang Anis.
Imam Ali justru mengurungkan niatnya untuk membunuh. Saat ditanya alasannya, dia menjelaskan bahwa dia takut bila niatnya membunuh lawan itu justru terpengaruh emosi dan amarahnya.
Menurut Anis langkah itu dilakukan lantaran Imam Ali berhitung memakai pertimbangan alam abadi dan bukan pada nafsunya.
Sementara KH. Abdullah Umar Fayumi menyebut bahwa alasannya sifat dualitas dunia, maka niscaya ia punya potensi untuk retak dan terbelah. Retak dan terbelah ini bisa menjadi positif, bisa juga dimanfaatkan oleh tujuan negatif.
Pola pemanfaatan retakan dan pembelahan untuk tujuan negatif ini tampak dalam pola Iblis, Fir’aun, Ya’juj Ma’juj dan Dajjal. Dengan mengenali pola-pola ini kita akan bisa membaca arah perkembangan zaman dikala ini dan sekaligus menemukan solusi-solusinya.
Di sisi lain, Muhammad Qosim Alaydrus mengatakan bahwa di abad sekarang ini insan dibutuhkan selalu bercermin dan mencerminkan moral baik orang-orang alim. Dia pun mencontohkannya dengan aksara tokoh bangsa ibarat Soekarno, Suharto dan Gus Dur.
“Bagaimana bila dikala peralihan ke orde gres Bung Karno tidak legowo dan menyuruh simpatisannya untuk melawan balik? Demikian juga Suharto yang waktu itu masih besar lengan berkuasa kekuasaannya? Bagaimana pula bila Gus Dur tidak legowo untuk mundur padahal dikala itu sudah ada santri yang siap mati untuk membelanya?” terangnya.
Beruntung tokoh-tokoh itu menggunakan bangsa sebagai cerminnya. Mereka bersikap legowo untuk mundur sehingga tidak hingga terjadi perang saudara di negara ini.
“Sebagai warga Indonesia sudah sepatutnya melihat dengan ukuran bangsa bukan partai dan golongan. Karena bila hal itu sudah terjadi maka yang muncul hanyalah kepentingan eksklusif bukan untuk kebaikan bangsa,” ujarnya.
Muhajir Arrosyid salah satu narasumber lain dalam Suluk Maleman bahkan menceritakan pengalaman dalam bercermin. Diakuinya dikala masih aktif di teater pernah Muhajir tidak mandi beberapa hari. Hingga suatu ketika dirinya bercermin.
“Saat itu saya hingga kaget betapa buruknya wajah dan kondisi saya dikala itu,” ujarnya dengan gaya bercanda.
Dari situ dia menyadari bahwa rasa kaget itu dikarenakan sudah lama tak bercermin. Atau tidak menyadari dengan kondisi dirinya sendiri. Padahal dikala tidak mengenali dirinya maka yang ada biasanya justru rasa takut dan tentu membuatnya tidak bisa mengenali kekuatannya.
“Sifat cermin itu petunjuk. Dan itu ada di diri Nabi Muhammad. Maka dari itu umat insan butuh cermin, cerminan, dan tentu bercermin,” ujarnya.
Diskusi itupun berjalan hangat. Ratusan hadirin dari banyak sekali kota ibarat Kudus, Pati, Brebes antusias dalam mengikuti jalannya ngaji budaya tersebut. Iringan musik dari Sampak GusUran turut memeriahkan jalannya program hingga usai. (Red: Fathoni/NU Online)
“Sekarang ini orang sudah kehilangan selera humor. Makanya sering terjadi perselisihan,” ujar Habib Anis dikala membuka diskusi Suluk Maleman Sabtu (21/10) kemarin.
Padahal menurut aktivis Sampak GusUran tersebut orang yang suka humor ialah orang bijak yang bisa melihat dari luar realitas. Dengan begitu maka orang yang penuh humor selalu menyadari bila tidak ada orang yang sempurna.
“Hal itu yang kemudian membuatnya tidak mudah marah apalagi hingga terjadi perselisihan. Karena sadar sama lemahnya sehingga perlu saling menguatkan,” ujarnya.
Dalam suluk bertemakan Retak Cermin Dibelah Bangsa itu, Anis juga mengingatkan untuk tidak berbicara menang dan kalah dalam konteks dunia. Karena setiap mencari kemenangan dunia sudah dipastikan orang itu justru akan mengalami kekalahan. Namun bila yang dicari kemenangan alam abadi dipastikan akan menerima dunia dan akhirat.
“Pernah di suatu peperangan Imam Ali berhasil mengalahkan musuhnya. Namun dikala hampir dieksekusi, Imam Ali diludahi oleh lawannya. Rupanya hal itu justru tidak membuat Imam Ali gelap mata dan membunuh musuh di peperangannya itu,” terang Anis.
Imam Ali justru mengurungkan niatnya untuk membunuh. Saat ditanya alasannya, dia menjelaskan bahwa dia takut bila niatnya membunuh lawan itu justru terpengaruh emosi dan amarahnya.
Menurut Anis langkah itu dilakukan lantaran Imam Ali berhitung memakai pertimbangan alam abadi dan bukan pada nafsunya.
Sementara KH. Abdullah Umar Fayumi menyebut bahwa alasannya sifat dualitas dunia, maka niscaya ia punya potensi untuk retak dan terbelah. Retak dan terbelah ini bisa menjadi positif, bisa juga dimanfaatkan oleh tujuan negatif.
Pola pemanfaatan retakan dan pembelahan untuk tujuan negatif ini tampak dalam pola Iblis, Fir’aun, Ya’juj Ma’juj dan Dajjal. Dengan mengenali pola-pola ini kita akan bisa membaca arah perkembangan zaman dikala ini dan sekaligus menemukan solusi-solusinya.
Di sisi lain, Muhammad Qosim Alaydrus mengatakan bahwa di abad sekarang ini insan dibutuhkan selalu bercermin dan mencerminkan moral baik orang-orang alim. Dia pun mencontohkannya dengan aksara tokoh bangsa ibarat Soekarno, Suharto dan Gus Dur.
“Bagaimana bila dikala peralihan ke orde gres Bung Karno tidak legowo dan menyuruh simpatisannya untuk melawan balik? Demikian juga Suharto yang waktu itu masih besar lengan berkuasa kekuasaannya? Bagaimana pula bila Gus Dur tidak legowo untuk mundur padahal dikala itu sudah ada santri yang siap mati untuk membelanya?” terangnya.
Beruntung tokoh-tokoh itu menggunakan bangsa sebagai cerminnya. Mereka bersikap legowo untuk mundur sehingga tidak hingga terjadi perang saudara di negara ini.
“Sebagai warga Indonesia sudah sepatutnya melihat dengan ukuran bangsa bukan partai dan golongan. Karena bila hal itu sudah terjadi maka yang muncul hanyalah kepentingan eksklusif bukan untuk kebaikan bangsa,” ujarnya.
Muhajir Arrosyid salah satu narasumber lain dalam Suluk Maleman bahkan menceritakan pengalaman dalam bercermin. Diakuinya dikala masih aktif di teater pernah Muhajir tidak mandi beberapa hari. Hingga suatu ketika dirinya bercermin.
“Saat itu saya hingga kaget betapa buruknya wajah dan kondisi saya dikala itu,” ujarnya dengan gaya bercanda.
Dari situ dia menyadari bahwa rasa kaget itu dikarenakan sudah lama tak bercermin. Atau tidak menyadari dengan kondisi dirinya sendiri. Padahal dikala tidak mengenali dirinya maka yang ada biasanya justru rasa takut dan tentu membuatnya tidak bisa mengenali kekuatannya.
“Sifat cermin itu petunjuk. Dan itu ada di diri Nabi Muhammad. Maka dari itu umat insan butuh cermin, cerminan, dan tentu bercermin,” ujarnya.
Diskusi itupun berjalan hangat. Ratusan hadirin dari banyak sekali kota ibarat Kudus, Pati, Brebes antusias dalam mengikuti jalannya ngaji budaya tersebut. Iringan musik dari Sampak GusUran turut memeriahkan jalannya program hingga usai. (Red: Fathoni/NU Online)
0 komentar:
Posting Komentar